Sebuah Puisi: Tuntutan II
Sebuah Puisi
TUNTUTAN II
Hari ini, berlangsung sidang pengadilan
Tuntutan dengan dakwaan pasal dua belas ayat satu, tentang rindu yang tertahan.
Mendengar putusan hakim yang selalu
Menyalahkan terdakwa, yang selalu bertanya mengapa
Ia bisa-bisanya jatuh cinta.
Memutuskan.
Dengan ketokan palu hakim tiga kali
Terdakwa dinyatakan bersalah atas apa yang dilakukannya, yaitu menempatkan sembarang cintanya
Di dalam hati seorang wanita
Tok!
Tok!
Pak!
Pak hakim!
Tiba-tiba dari jauh
Nampak sesorang berdiri
Menggugat putusan hakim tadi
“maaf pak, jika bapak menyalahkan cinta anak muda tadi, maka saya tidak setuju, pak. Sebab cinta adalah hujan bapak, ia bisa turun di belahan bumi mana saja. Suburkah, tanduskah, lembahkah, gunungkah, hujan tidak peduli begitu juga dengan cinta, bapak semakin lama seseorang berteduh di bawah payung saat hujan deras, ya ia akan basah juga, bapak. Semakin lama seseorang memendam rasa dengan rindu yang tertanam, ya ia akan mengejarnya. Entah yang kita cintai itu suka atau tidak suka, itu hak mereka. Sedangkan hak jatuh cinta adalah hak setiap manusia.”
Suasana sidang kala itu riuh
Semua yang hadir mengangguk-ngangguk,
Berdiri, menepuk tangannya keras sekali
Akhitnya sang hakim, memutuskan.
Bahwa pemuda tadi, dengan cintanya yang mendalam,
Dengan rindunya yang tertanam,
Pemuda tadi dinyatakan,
Tidak bersalah.
Tok!
Tok!
Tok!