Sebuah Puisi: Perjalanan Sepuluh Kilometer Di Riak sunyi
Sebuah Puisi
PERJALANAN SEPULUH KILOMETER DI RIAK SUNYI
Sepuluh kilo meter aku berjalan
Menelusuri sunyi
Beriak dalam sepi
Sunyi adalah pohon dalam lara
Sunyi adalah bebatuan dalam cinta
Sepuluh kilometer, aku
Masih terus berjalan
Mendaki gunung-gunung abadi
Menembus angin menerpa
Menembus rindu berjumpa
Di satu kilometer depan
Terbagi dua jalan
Ada yang kiri
Ada yang kanan
Yang kanan hutan belantara
Yang kiri tebing jurang menganga
Namun, aku berjalan terus lurus tak hentinya
Hingga aku berjumpa suatu kampung
Dimana disana cinta adalah benci
Masalah adalah belati
Harapan adalah kematian
Damai adalah mimpi
Kutelusuri ditengah mayat-mayat segar
rupanya disini habis perang
Yang kalah mati
Yang menang mati
Aku putuskan untuk terus berjalan
Sore menjelang
Matahari menghilang
Binatang buas
Beranjak berkeliaran
Tak lama kemudian
Suara mereka berkeliaran
Ada yang menggonggong
Tapi bukan anjing
Ada yang mengeong
Tapi bukan kucing
Ada yang berkicau
Tapi bukan burung
Suara jangkrik, bukan jangkrik
Suara katak, bukan katak
Oh! Suara berbagai hewan
Kini memecah peningku
Menciptakan irama tak beraturan
Menciptakan sebuah lagu baru
Di tengah purnama
Aku tetap berjalan
Entah apa yang kujumpa
Di kilometer berikutnya
Suara hewan tadi
Seiring waktu menghilang
Tapi kemudian
Disusul beberapa suara
Yang baru datang
Suara gemuruh ombak
Tapi ia tak ada disini
Suara petir menyambar
Tapi kilatnya tak ada disini
Suara angin ribut
Pohon kalang kabut
Tapi tak satupun yang
Bisa menjelaskan
Hingga kemudian
Seseorang membisiki
Menelusup dalam hati ini
“rindu tak bersuara
Cinta tak bersua
Benci menganga
Kita tiada tara”
Tiba-tiba aku terperanjat
Mencoba mencerna kata demi kata
Tapi kemudian suara lain
Ikut menyapa
“eh! Bujang, kau keujung dunia
Tak kan juga kau jumpa.
Cinta bukan apa yang ada
Ia terasa bujang, saat
Engkau kehilangan semua
Cinta istimewa, bujang”
Tiba-tiba aku menetes mengalir berlalu
Sepotong pertanyaan masa lalu
Terjawab saat ini, hingga
Terdengar suara ketiga
Ia mencoba merasuki,
Tapi aku tak ingin
Suaranya parau
Ia mengawali pembicaraannya
“sejatinya emgkau mencari ilusi
Bayanganmulah yang membuat
Engkau benci, padahal hidup
Tak diciptakan demikian.
Apa yang kau cari, tidak kau cari
Apa yang kau tunggu, tidak kau tunggu
Cinta memang ironi, yang perlu
Engkau garis bawahi,
Terkadang apa yang kau cinta
Terkadang tak sungguh kau cinta”
Ah! Suara terakhir memekikkan pikiranku
Tiba-tiba badanku terasa terhujam sesuatu
“bujang! Bangun bujang, waktunya shalat shubuh”
Ibu membangunkanku dari mimpiku
Satu meter lagi aku berjalan menyelesaikan
Mengharap ridho tuhanku
Sumenep, 8 Desember 2016.